World Coral Reef Confrence (WCRC) 2014. |
Perhelatan konferensi terumbu karang dunia (baca; WCRC) yang digelar di Kota Manado pada tanggal 14 – 17 Mei 2014 dan sekaligus Presiden SBY akan meresmikan pengoperasian kantor Coral Triangle Initiative (CTI) yang dibangun berdekatan dengan monumen CTI, yang sudah lebih dulu berdiri bulan Mei tahun 2009 sebagai pertanda berhasilnya diselenggarakan World Ocean Conference – Coral Triangle Initiative (WOC-CTI) Summit.
Beberapa agenda penting dalam World Coral Reef Conference yang menurut beberapa kalangan praktisi pesisir dan kelautan, pakar terumbu karang dari negara-negara anggota CTI dan NGO’s Internasional, akan menggelar beberapa agenda kegiatan seperti;
1. Konferensi Terumbu Karang Dunia, dengan pokok-pokok pembahasan bahwa terumbu karang memiliki nilai yang cukup tinggi, baik dari sisi ekologis, ekonomis dan budaya tetapi kemudian kelangsungan hidup terumbu karang semakin terancam karena ulah manusia (bukan korporasi), pencemaran dari wilayah daratan, kiriman sedimentasi yang sangat banyak, penangkapan ikan berlebihan dan kemudian perubahan iklim sebagai ancaman terbesar bagi penurunan laju pertumbuhan ekosistem terumbu karang yang kemudian akan dikaitkan dengan aksi global untuk penurunan emisi karbon dioksida dan efek gas rumah kaca.
Logo WCRC 2014 |
Beberapa tujuan utama yang rencananya akan dihasilkan dalam konferensi ini antara lain; - mempercepat pemberlakuan kebijakan global untuk perlindungan terumbu karang; - merangsang aksi nasional, regional dan global untuk perlindungan dan pengelolaan terumbu karang; - mendorong kemitraan para stakeholder kunci untuk pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan, dan; - mendorong peluang-peluang investasi yang terkait dengan kegiatan-kegiatan pengelolaan terumbu karang. Tema konferensi tersebut adalah “Terumbu Karang untuk Perikanan Berkelanjutan, Ketahanan Pangan dan Bisnis Ramah Lingkungan.” (**)
Menjawab persoalan terumbu karang yang ekosistemnya kini terancam, tidak semudah hanya dengan menerapkan kebijakan nasional, regional ataupun global atau kemudian mendorong pola kemitraan dan juga melibatkan investor untuk mengelolaa terumbu karang atau dalam rangka menjawab kebutuhan pangan global. Ada beberapa hal penting yang seharusnya menjadi perhatian khusus pemerintah Indonesia, khususnya di sektor perikanan dan kelautan, termasuk pariwisata laut yang masih menjadikan eksositem terumbu karang sebagai objek “jualan” wisata.
Pertama ; terumbu karang juga harus dipandang memiliki fungsi sosial sebagai sumber-sumber kehidupan bagi masyarakat nelayan dan juga sebagai sebuah ekosistem yang sangat tergantung dengan pola hidup di wilayah daratan.
Tidak sedikit pola-pola pengelolaan terumbu karang, justru menimbulkan banyak konflik di kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil seperti misalnya dengan sistem zonasi yang mempersempit ruang hidup dan ruang kelola masyarakat pesisir dan lebih mementingkan untuk kepentingan pariwisata dan penelitian.
Kedua ; meletakkan kebijakan di sektor perikanan dan kelautan harus betul-betul proporsional, dalam artian bahwa wilayah perairan beserta sumber daya alamnya harus dimanfaatkan secara benar untuk mendahulukan kepentingan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia lalu kemudian memenuhi kebutuhan bisnis dan lain-lain.
Logikanya, pemerintah harus memastikan terlebih dahulu masyarakat indonesia cukup mengkonsumsi ikan setiap hari baru kemudian menjawab kepentingan bisnis investasi, termasuk menjawab kebutuhan pangan masyarakat pesisir/nelayan pada saat cuaca buruk sebagai dampak perubahan iklim.
Ketiga ; komitmen perlindungan terumbu karang bukan hanya menjadi tanggung-jawab sektor perikanan dan kelautan atau aparat penegak hukum lainnya, tetapi sektor-sektor yang lain juga harus memiliki tanggung-jawab tersebut termasuk kebijakan-kebijakan pembangunan infrastruktur yang berpotensi mengancam kehidupan ekosistem terumbu karang dan mangrove. Misalnya di sektor pertambangan dan perkebunan, yang kemudian sangat berpotensi untuk mengancam ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang lamun.
Selain praktek pembuangan limbah tailing ke laut (kasus di Sulut dan NTB oleh PT. Newmont), kiriman-kiriman sedimentasi akibat pembukaan lahan perkebunan dan pertambangan juga cukup besar melalui sungai-sungai dan bermuara ke laut. Lumpur-lumpur sedimentasi membuat air laut menjadi keruh, mengurangi kebutuhan cahaya bagi terumbu karang, mempengaruhi biota-biota yang hidup di ekosistem mangrove dan padang lamun sehingga menjadi terancam kehidupannya.
Kebijakan pembangunan perkotaan juga harus direncanakan secara benar dan sesuai dengan prinsip undang-undang, termasuk menghentikan kebijakan reklamasi pantai dan wilayah pesisir. Praktek reklamasi di 10 kota besar di Indoensia, cukup memberikan gambaran kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan terhadap ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang lamun termasuk masyarakat pesisir dan nelayan yang kehilangan akses atas sumber-sumber kehidupan mereka.
Kebijakan reklamasi bukan solusi untuk perlindungan ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang lamun apalagi untuk kepentingan ekonomi dan kesejahteraan nelayan. Meski nelayan tradisional/lokal sudah melakukan “perlawanan” atas rencana atau aktifitas reklamasi, namun dianggap bukan hal yang penting bagi pemerintah. Kasus reklamasi di Jakarta, Manado dan rencana reklamasi di Teluk Benoa, Bali adalah bukti perencanaan pembangunan yang merugikan nelayan. Bahkan untuk kasus Teluk Benoa, malah pemerintah yang mendorong perubahan aturan tata ruang sebelum waktunya hanya untuk kepentingan korporasi yang mengatas-namakan peningkatan ekonomi padahal untuk kepentingan bisnis semata.
2. Syimposium Internasional Karbon Biru, dengan mengandalkan daya serap CO2 pada ekosistem mangrove dan padang lamun tetapi kemudian kebijakan sektoral yang mengancam kedua ekosistem tersebut juga terus di produksi. Menghubungkan kedua ekosistem tersebut dengan isu perubahan iklim, bisa berkaca pada praktek yang terjadi saat ini di ekosistem hutan di Indonesia. Banyak pihak sudah membicarakan konsep penyelamatan hutan tropis di Indonesia tetapi kemudian ujung-ujungnya adalah “dagang karbon” dan kemudian komitmen untuk menurunkan emisi menjadi terabaikan.
Logika sederhananya, negara-negara maju cukup dengan mengeluarkan uang untuk diberikan ke negara-negara yang masih memiliki kawasan hutan untuk mempertahankan keberadaan hutan tersebut, bukan pada komitmen untuk turut menurunkan emisi yang dihasilkan, baik di sektor industri, energy, transportasi, pertanian dan lain-lain.
Indonesia pun turut berkomitmen menurunkan emisi sebanyak 26% sampai tahun 2020, tetapi kemudian tidak dibarengi dengan kebijakan-kebijakan sektoral yang mengarah ke pelestarian kawasan hutan. Justru malah sebaliknya, produksi ijin-ijin sektoral seperti HTI, perkebunan skala besar dan pertambangan terus diberikan peluang, termasuk peluang investasi asing terus terbuka dan kemudian menjadi istimewa karena kebijakan otonomi daerah yang dijadikan “barang” dagangan pada proses-proses pemilihan kepala daerah di level provinsi dan kabupaten/kota.
Adakah yang bisa menjamin konsep Blue Carbon tidak akan bernasib sama seperti REDD, REDD+ atau REDD++…..???? Belum ada praktek penurunan emisi GRK yang berhasil dilakukan, khususnya dalam praktek pengelolaan blue karbon yang dihasilkan untuk wilayah perairan dan kelautan.
3. Forum Bisnis Kelautan Dunia, para pegiat-pegiat usaha industri perikanan dunia, bisnis kelautan dunia, pengusaha wisata kelas dunia, pakar kelautan dunia, pemilik usaha kecil menengah, pemilik modal, swasta, akan terbentuk dalam diskusi-diskusi khusus yang mengarah ke pengembangan usaha, model kerja-sama, penentuan jenis usaha yang strategis yang kemudian mengatas-namakan mendukung ketahanan pangan dan kemudian mendorong konsep kemitraan, penanaman modal lokal dan internasional, tukar menukar informasi dan pengalaman usaha.
Sangat ironis, komitmen untuk melindungi ekosistem terumbu karang, padang lamun dan ekosistem mangrove, tetapi kemudian dilakukan dengan aktifitas-aktifitas yang justru bisa mengancam ekosistem-ekosistem tersebut, lantas kemudian nelayan tradisional/lokal semakin terabaikan dalam konteks hak partisipasi, hak pemanfaatan ruang, hak akses dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan kemudian terus menerus terjebak dengan persoalan-persoalan klasik yang tak kunjung terselesaikan.
Seharusnya persoalan-persoalan sosial dan ekonomi yang terjadi ditingkat nelayan tradisional/lokal harus dikedepankan oleh pemerintah untuk diselesaikan, bukan malah mementingkan korporasi-korporasi sektor perikanan, kelautan dan pariwisata yang justru akan semakin meminggirkan hak-hak nelayan tradisional/lokal. Undang-undang No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 1 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.27 tahun 2007, justru berbalik menjadi ancaman bagi kehidupan nelayan dan juga kehidupan ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang lamun.
Pulau-pulau kecil kemudian menjadi incaran para investor asing (Pasal 26A) setelah Hak Penguasaan Pesisir Perairan (HP3) dianulir oleh Mahkamah Konstitusi pada pertengahan tahun 2012. Upaya keras yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk merencanakan mengambil alih pengelolaan 7 (tujuh) Taman Nasional Laut di Indonesia dari Kementerian Kehutanan adalah bukti lainnya tindakan-tindakan ego-sektoral yang terjadi di pemerintah Indonesia. Apakah fakta-fakta tersebut bisa dijadikan sebagai bagian dari komitmen perlindungan terumbu karang, padang lamun, mangrove untuk kepentingan ketahanan pangan…????
Pengamatan yang dilakukan oleh LIPI patut untuk dijadikan pertimbangan penting dalam konteks perlindungan dan penyelamatan ekosistem terumbu karang di Indonesia. Seperti yang pernah disiarkan oleh media pada tanggal 18 April 2014, bahwa dari pengamatan yang dilakukan di 1.135 titik stasiun hingga pada tahun 2013 menemukan 30,4% dari 2,5 juta hektar luas terumbu karang di Indonesia berada dalam kondisi rusak. Hasil ini disampaikan oleh Peneliti Puslit Oceanografi LIPI Dr. Giyanto dalam diskusi bertajuk “Riset Ekosistem Terumbu Karang di Indonesia” pada tanggal 17 April 2014 di Jakarta.
Lebih lanjut Peneliti Kelautan LIPI Prof. Suharsono menjelaskan, untuk menjawab upaya yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan terumbu karang kedepan, ia memaparkan setidaknya terdapat lima langkah yang sedang diupayakan LIPI bersama pemangku kepentingan di daerah. Langkah tersebut berupa riset dan pemantauan, peningkatan kesadaran publik, pengelolaan berbasis komunitas, penguatan kelembagaan, serta penegakan aturan hukum.
Bahan bacaan ini mungkin bisa menjadi bahan refleksi untuk kemudian menentukan sikap terhadap kebijakan-kebijakan yang akan dihasilkan dalam even koferenesi terumbu karang berskala internasional di Manado, Sulawesi Utara pada bulan Mei 2014 nanti.
Kegiatan-kegiatan lain yang hanya sebagai pelengkap (Coral Reef Exhebition dan Pertemuan Menteri Anggota CTI) tak lebih sekedar menunjukkan makna pembiayaan luar biasa yang telah dikeluarkan untuk kesuksesan WCRC tersebut. Hampir tak memiliki relevansi yang jelas untuk memberikan solusi-solusi konstruktif terhadap persoalan-persoalan nelayan, persoalan kerusakan lingkungan hidup, persoalan eksploitasi sumber daya kelauatan yang berlebihan dan persoalan penataan ruang yang partisipatif di Indonesia.
Terima kasih….
Edo Rakhman. |
Edo Rakhman
Campaigner
Departemen Advokasi Walhi Nasional
Unit Kerja Perlawanan Industri Ekstraktif
Jl. Tegal Parang Utara No. 14 Mampang – Jakarta Selatan
www.walhi.or.id
oderakhman@yahoo.co.id
(**) (sumber : http://wcrc2014.org/index.php/14-sample-data-articles/104-about-wcrc)