Bayi orangutan di Taman Nasional Kutai, sehat bersama induknya di habitat aslinya | Foto: Purwo Kuncoro |
Deforestasi adalah salah satu penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati yang ada, salah satunya adalah Orangutan yang terdapat di Sumatera dan Kalimantan yang keberadaannya kini semakin terancam. Hilangnya hutan sebagai akibat pembukaan lahan untuk perkebunan, seperti kelapa sawit dan karet menyebabkan konflik antara Orangutan dengan manusia semakin nyata.
Beberapa kasus yang terjadi belakangan ini, seperti pembantaian Orangutan di Kalimantan Timur adalah bukti adanya konflik tersebut. Padahal, Orangutan adalah salah satu primata yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya.
Jamartin Sihite Acting CEO The Borneo Orangutan Survival Foundation mengatakan, Secara internasional melalui Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora – CITES telah memasukkan Orangutan sebagai salah satu satwa yang dilindungi karena terancam kepunahannya dan Indonesia telah meratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya pelanggar terhadap peraturan ini diancam dengan pidana kurungan selama 5 tahun dan denda sebesar Rp 100 juta.
“Bahwa menangkap, melukai, dan membunuh Orangutan adalah melanggar pasal 21 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990,” katanya.
Menurut Dia, konflik antara Orangutan dengan manusia disebabkan oleh adanya pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang mengakibatkan satwa dilindungi ini masuk ke perkampungan penduduk untuk mencari makan, ancaman selanjutnya adalah kebakaran hutan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Conferency on Parties (COP) ke 13 Tahun 2007 di Bali mengatakan, bahwa Orangutan memiliki peran penting dalam climate change (perubahahn iklim), ketika Orangutannya ada, pasti hutannya sehat serta memiliki peran dalam perubahan iklim. Salah satu rencana aksi konservasi primata ini adalah penegakan hukum terhadap kasus-kasus menyangkut satwa dilindungi ini.
Jamartin CEO mengatakan, kendala lainnya adalah saat melakukan rescue atau pertolongan terkait Orangutan agar dipermudah birokrasi perizinannya. Selama ini, izin perlengkapan senjata bius untuk rescue terhadap primata dilindungi ini melalui beberapa pintu, seperti Bea Cukai, Kepolisian, baik Mabes Polri juga Polda dan bahkan sampai Badan Intelejen. Hal inilah salah satu hambatan dalam proses rescue tersebut. “Padahal itu merupakan tugas Negara, menyelamatkan asset Negara,” ujarnya.
Dia juga mengatakan, terkait Orangutan yang masuk ke perkampungan penduduk yang disebabkan hutannya di buka oleh swasta oleh karena itu swasta juga harus ikut bertanggung jawab dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat bahwa kalau ada Orangutan masuk perkampungan jangan dibunuh.
Hardi Baktiantoro Principal Centre for Orangutan Protection – COP mengatakan, satu ekor anak Orangutan yang sampai ke pusat penyelamatan itu mewakilkan 2 hingga 10 ekor Orangutan yang mati dan tidak dilaporkan dan itu masuk akal. “Saat rescue Orangutan tidak selamanya berhasil. Ada yang tertusuk tangannya ada yang kena ranting dan umumnya bayi yang diselamatkan juga tidak bisa survive,” katanya.
Populasi Orangutan di Kalimantan berdasarkan data pada 2004 sebanyak 52 ribu ekor. Sedangkan di Sumatera sebanyak 5.500 ekor. Khusus populasi liar yang bertahan saat ini hanya terdapat di daerah barat laut pulau Sumatera, tepatnya berada di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.
Sumber: ekuatorial.com|greenjournalist.net