Gambar Ilustrasi |
MISSSION POSSIBLE: MENYELAMATKAN POS INDONESIA
Akhir bulan Juli 2019 yang lalu, Pos Indonesia menjadi buah bibir masyarakat Indonesia. BUMN yang paling jarang mendapat sorotan, tiba-tiba menjadi sosok media darling. Berhari-hari beritanya di blow up semua media. Dari media cetak, televisi apalagi online. Bahkan diseret-seret menjadi isu politik. Ditambah lagi beritanya berbarengan dengan isu laporan keuangan Garuda Indonesia, BUMN juga. Laporan keuangan Garuda Indonesia yang semula membukukan keuntungan, tiba-tiba berubah rugi trilyunan.
Itu semua berawal dari statement anggota DPR RI, Rieke Dyah “Oneng” Pitaloka di Komisi VI. Bu Rieke dengan gamblang menyampaikan Pos Indonesia diambang kebangkrutan. Semua orang terperanjat. BUMN ini sudah mengabdi bagi bangsa dan negara 300 tahun lamanya. Pejabat-pejabat negara yang usianya lebih dari 50 tahun, pasti telah merasakan jasa perusahaan ini. Saat kuliah, weselpos lah yang mereka tunggu kehadirannya. Ketika transfer bank masih menjadi kosa kata langka. Pun pula gaji dan uang pensiun pegawai negeri, anggota TNI/Polri baru Kantor Pos yang bisa melayani.
Kenapa ini bisa terjadi?
Cash is the King.
Pemilik uang tunai adalah raja. Begitulan hukum dalam bisnis. Begitu pula yang dialami Pos Indonesia.
Sebelum tahun 1990 an, Pos Indonesia berlimpah dana. Tidak heran hampir semua bank mendekatinya. Ingin menjadi mitranya. Ibarat kata, Pos Indonesia gadis cantik nan rupawan. Banyak perjaka ingin memikatnya.
Ketika itu, hampir semua belanja pemerintah terutama belanja pegawai disalurkan melalui Kantor Pos.
Masa itu, lebih dari 90% pensiunan PNS/TNI/Polri dibayarkan melalui Kantor Pos. Droping dana setiap tanggal 26, dibayarkan kepada pensiunan baru tanggal 4 bulan berikutnya. Dana mengendap beberapa hari di Kantor Pos.
Waktu itu, kiriman weselpos masih full manual. Uang bisa dicairkan kalau fisik weselpos sudah diterima. Butuh waktu berhari-hari. Dana pun mengendap di Kantor Pos.
Saat itu, kantorpos sudah bisa menerima setoran pajak. Akhir bulan kantor pos harus melimpahkan storan pajak masyarakat ke Kas Negara. Dana mengendap di Kantor Pos.
Dulu itu, banyak program jaminan sosial pemerintah yang disalurkan melalui Kantor Pos, ada Takesra/Kukesra, Jaminan Perlindungan Sosial (JPS), Gaji dokter dan bidan PTT dan sebagainya. Tahun 2007 an ke atas Kantor Pos dipercaya menyalurkan program kompensasi kenaikan harga BBM. Nama programnya Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang kemudian diganti menjadi Bantuan Langsung Mandiri (BLS). Ditambah lagi program berkelanjutan, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH). Semua program pemerintah itu dananya trilyunan rupiah. Mengendap di Kantor Pos.
Tak heran, bank berlomba-lomba menjadi "kekasih" Pos Indonesia. Punya duit je.....Cash is the king.
What about now?
Tidak ada lagi belanja pemerintah yang disalurkan melalui Pos Indonesia. Tidak ada lagi bendahara instansi/dinas pemerintah setiap tanggal 1 antri di Kantor Pos untuk mencairkan cek giro (gir 9) gaji PNS.
Bagaimana dengan pensiunan PNS, TNI dan Polri? Sami mawon. Sarua wae. Untuk menjadi juru bayar pensiun, kini Pos Indonesia harus rela berbagi dengan institusi lain. Makin banyak pihak yang melirik pensiunan PNS, TNI dan Polri sebagai target market mereka. Populasi pensiunan yang dibayarkan di Pos Indonesia juga terus berkurang. Padahal jumlah pensiunan terus bertambah. Apalagi uang pensiun sekarang dibayar tanggal 1 bukan tanggal 4 lagi seperti dulu. Dana mengendap, tinggal memori.
Layanan weselpos atau remittance, uangnya hanya numpang lewat, tidak mengendap lagi. Weselpos instan, sekian detik sudah dicairkan oleh penerimanya. Jumlah transaksinya pun juga terus berkurang. Ada substitusinya, transfer bank.
Setoran pajak dan penerimaan negara lainnya setali tiga uang. Tidak ada peluang pengendapan dana. Jumlah setoran pajak yang diterima harus dilimpahkan hari itu juga ke rekening Kas Negara Berita baiknya ada upah per transaksi kepada Pos Indonesia.
Bagaimana program jaminan sosial pemerintah? Tak ada harapan. Pemerintah ambil kebijakan yang “merugikan” Pos Indonesia. Kebijakannya rekeningisasi dalam setiap program jaminan sosial. Pos Indonesia belum siap. Hilang sudah peluang pengelolaan dananya.
Bagaimana dengan uang masuk dari operasional layanan kurir, logistik maupun jasa keuangan? Dalam kondisi persaingan bisnis kurir yang sangat tajam saat ini, sulit menjadikan pendapatan operasional memenuhi kebutuhan likuiditas perusahaan. Tidak seperti PT Kereta Api, pelanggan rela mengeluarkan uang beberapa bulan sebelum tanggal keberangkatan demi sebuah kepastian tiket di tangan. Sebaliknya Pos Indonesia “terpaksa” harus bersedia menerima pembayaran di belakang. Pembayaran kredit. Terpaksa harus diterima. Jika tidak akan ditinggalkan oleh pelanggan. Terutama pelanggan besar. Jadilah cash menjadi piutang.
Likuiditas adalah nadi kehidupan perusahaan. Likuditas ibarat darah dalam tubuh. Darah mengalirkan zat-zat yang dibutuhkan seluruh anggota tubuh. Darah pula yang membuang racun-racun berbahaya bagi tubuh. Tanpa darah, anggota-anggota tubuh tidak akan berfungsi. Tubuh tidak bisa hidup tanpa darah. Vital. Sangat vital fungsi darah. Begitu juga likuiditas dalam perusahaan.
Digitalisi giropos.
Meski terlambat, ada secerah harapan Pos Indonesia mengembalikan kemampuan likuditasnya. Pos Indonesia baru saja meluncurkan layanan giropos versi digital. Di dalamnya ada fitur mobile-nya. Produk ini diharapkan dapat menjawab tantangan kebutuhan digitalisasi transaksi. Bukan itu saja, yang lebih strategis produk ini bisa menjadi kanal layanan distribusi dana. Dengan adanya dana yang mengalir, likuiditas perusahaan terselamatkan. Tidak perlu meminjam dana ke bank. Tidak ada lagi kewajiban memberi interest.
Apa yang musti dilakukan Pos Indonesia?
Sebelum ekspansi ke luar, Pos Indonesia harus optimalkan potensi internalnya. Jadikan giropos sebagai payroll seluruh emolemen dan benefit karyawan. Kenapa harus menggunakan chanelling orang lain, sementara internal sudah memiliki.
Setelah itu, Pos Indonesia harus mendesak Pemerintah untuk membuat kebijakan yang berpihak pada Perusahaan. Kembalikan program-program penyaluran dana yang dulu pernah dilakukan oleh Pos Indonesia.
Pos Indonesia juga harus mendesak Pemerintah untuk menjadikan Pos Giro Mobile sebagai e-wallet nasional. Harus ada proteksi. Keberpihakan. Kalau dibiarkan bersaing bebas, sulit untuk memenangkan pertarungan. E-wallet (e-money) pesaing didukung dengan finansial kuat. Mampu memberikan iming-iming promosi menggiurkan.
Pemerintah harus diyakinkan bahwa Pos Giro Mobile bisa diandalkan. Kelebihannya, dana yang terkumpul di Pos Giro Mobile dikelola oleh BUMN. Pemerintah bisa mengendalikan. Pemerintah bisa mengarahkan. Sebaliknya, dana masyarakat yang terkumpul di e-wallet atau e-money “swasta” sulit untuk bisa dipantau apalagi dikendalikan pemanfaatannya.
Secara simultan, upaya perbaikan likuiditas diimbangi dengan pengelolaan perusahaan yang baik. Kata-kata kuncinya adalah menggenjot pendapatan dan mengendalikan biaya. Kualitas layanan yang prima dan konsisten. Aktifitas perusahaan yang efisien dan efektif.
Semoga Pemerintah kembali memberi perhatian pada Pos Indonesia. Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Bukan hanya puluhan ribu karyawan dan keluarganya. Ada sejarah panjang, perusahaan tertua yang selalu hadir dalam perjalanan Nusantara. Jangan sampai bernasib seperti BUMN yang hanya tinggal nama. PT Garam, PT Industri Gelas, PT Kertas Letjes, Perusahaan Produksi Film Negara (PPFN), Perusahaan Angkutan Djakarta (PPD), PT Kertas Basuki Rahmat dan masih banyak lagi yang lainnya. Semoga tidak. Aamin.